![]() |
Ilustrasi - Kekeringan | AKURAT.CO/Candra Nawa Sumber Foto: akurat.co
|
Sebagai salah satu unsur fisis-alamiah, air adalah unsur alam yang utama. Air adalah satu diantara lima unsur dasar pembentuk alam semesta (panca mahabhuta), baik mikro ataupun makro kosmos, menurut konsepsi Hindu ataupun Buddhis. Sebagai unsur pokok, maka dapat dipahami bila keberadaan air, utamanya air bersih, menjadi hal utama yang diperhitungkan dalam "kalkulasi ekologis" untuk memilih suatu tempat sebagai areal bermukim. Air merupakan unsur alamiah yang mampu menjadikan kehidupan menjadi hidup. Sebutan arkhais "air kehidupan (tirtamreta)" memberi gambaran yang demikian. Dalam cerita "Samudramantana" atau bisa juga disebut "Amtretamanrana" -- bagian kisah yang termaktub dalam Adiparwa dari Mahabharata, tirthamreta yang dipandang sebagai unsur teramat penting itu menjadi rebutan antara para dewa dan raksasa. Tirtamreta pulalah yang menjadi syarat penebusan bagi Dewi Winata agar terbebas dari perbudakan Dewi Kadru.
Air bukan hanya dibutuhkan oleh makhluk manusia. Makhluk hidup lain, yakni tumbuhan dan binatang juga membutuhkannya. Pendek kata kesemuanya, yakni "makhluk hidup", membutuhkan air sebagai penopang bagi kelangsungan hidupnya. Unsur alam tak hidup pun membutuhkan air. Tanah menjadi kering kerontang tanpa air. Udara pun juga menjadi aking (kering) apabila tanpa uap air, hingga tidak mungkin terbentuknya titik-titik air yang bisa turun ke bumi menjadi hujan. Air yang keberadaannya sangat diharap oleh manusia sampai-sampai menciptakan apa yang disebut "fatamorgana", yaitu suatu tipuan pada padang mata yang seolah orang melihat adanya air di hadapannya. Air pulalah yang tergambar begitu diharapkan oleh musyafir yang tengah melintasi padang tandus. Ketika langka air, dendang riang katak kungkang (bangkong) tak lagi terdengar. Begitu pala"tik tik tik" bunyi hujan di atas genting tak bakal kedengaran.
Dalam mitologi Hindu, kelangkaan air lantaran air hujan yang tidak kunjung turun ke bumi dimitoskan sebagai disebabkan karena air hujan disedot dan disimpan di dalam mulut Naga Vtra. Untuk itulah maka Dewa Wisnu sebagai "Sang Mesias" segera melemparkan sejata cakranya ke arah leher Naga Vtra, agar air hujan yang disimpan dalam mulutnya dimuntahkan dan keluar turun sebagai hujan. Oleh karena jasa itulah, maka Dewa Wisnu memperoleh julukan sebagai "Vtrahan", artinya yang berhasil mengalahkan Naga Vtra.
Karena itu pulalah Wisnu acap direlasikan dengan air. Dewa Wisnu adalah perawat bagi keberlangsungan hidup Dewata ini yang diamanahinuntuk menjaga tirthamreta yang diperoleh dari proses pengadukkan samudra susu (ksirarwana) sebagaimana diceritakan dalam kisah "Samudramantana".
Berburu Mencari-Mendapatkan Air
BMKG memprediksi bahwa musim kemarau di tahun 2019 ini bakal lebih pajang dan lebih kering dari tahun 2018, meski tak sekering dan sepanjang tahun 2015. Dikatakan lebih panjang, karena kurun waktunya lebih dari 4 atau 5 bulan, yakni bisa saja sampai 6 hingga 7 bulan, bahkan bisa sampai 10 bulan. Kekeringan di tengah tahun ini mulai dirasa di sejumlah daerah. Kebutuhan akan jorigen, yakni wadah plastik tempat air, kian meningkat. Warga yang daerahnya dilanda kekeringan mulai berburu mencari air ke sumber-sumber air (tuk) yang masih memiliki kandungan air tanah
Dalam kosa kata Jawa, pencarian air ke sumber air dinamai "ngangsu". Oleh karena itu, tempat untuk pengambilan air disebut "pangangson". Sebenarnya kata " angsu" telah terdapat di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yang secara harafiah berarti : menimba air. Kata jadiannya antara lain "angangsu, jnangsu" Istilah ini kedapatan dalam susastra lama Brahmandapurana (151), Tantri Demung (3.67), Sumanasantaka (356) dan Pararaton (932). Alat atau tempat untuk menimba air diistilasi dengan "pangangswan" (Zoetmulder, 1995; 52). Dalam bahasa Jawa Baru maupun bahasa Indonesia pun kata "ngangsu" juga terdapat. Bahkan, menuntut (menimba) ilmu (pengetahuan) pun juga diistilahi dengan unsur sebutan ini, yakni "ngasu kawruh".
Demikian pentingnya sumber air bagi kelangsungan hidup tergambar pada penempatan areal bermukim di sekitar sumber air, sebagai tempat menimba air (pangangson). Tempat tinggal Pu Purwa -- ayah Ken Dedes -- dan warga se mandala Mahayana Buddhis pengikutnya di Desa Panawiijen (kini bernama "Polowijen") berada di sekitar sumber air (beji, sendang).
Demikian pentingnya air di beji itu, maka ketika Pu Purwa marah besar lantaran warga Panawijen tidak memberi pertolongan terhadap Ken Dedes yang "dibawa lari (diculik)" oleh Akuwu Tunggulametung, maka kutukan sapata) yang disumpahserapahkan oleh Pu Purwa kepada warga Panawijen berbunyi "asata pangangsone, moga tan mertua banyu bejine (keringlah tempat penimbaan airnya, semoga tidak keluar air dari sendangnya (Pararaton 9.32)".
Konon pada Kelurahan Polowijen terdapat sumber air, yang oleh warga setempat dinamai "Sendang Dedes" atau "Sumur Windu", yang kini airnya mengering, seolah kutuk Pu Purwa itu menjadi kenyataan.
Kegiatan mencari air ke suatu sumber cair kadang mesti menempuh perjalanan jauh dengan medan yang tidak gampang dilalui. Air dibawa pulang ke rumah menggunakan bumbung bambu, wadah air dari terakota (jun, klenthing), atau wadah lain yang lebih modern seperti blek, jorigen, tong, dan sebagainya.
Syair lagu Jawa "Pucung"menggambarkan pengangsuan air yang demikian.
Bapak pucung cangkemu madep menduwur
Sobomu ing sendang, pecokanmu lambung kering. Tekeng wismo si Pucung muntah kuwoyo
Bapak pucung cangkemu madep menduwur
Sobomu ing sendang, pecokanmu lambung kering. Tekeng wismo si Pucung muntah kuwoyo
Lagu yang dikenal sebagai "badean (cangkriman, tebakan)" ini menggambarkan wadah air -- diistilahi dengan "Bapak Pucung" -- yang mulutnya hadap ke atas. Tempat kepergian (sobo) -nya ke sendang. Adapun tempat meletakkan (pencokan)-nya pada pinggang kiri (lambung kering). Setibanya di rumah, si Pucung memuntahkan air (muntah kuwoyo).
Demi air warga mengangsu jauh, meski air yang dapat dibawanya pulang dalam jumlah terbatas. Pekerjaan yang berat ini dilakukan dari hari ke hari, karena pada tempatnya bermukim kesulitan air.
Demi air warga mengangsu jauh, meski air yang dapat dibawanya pulang dalam jumlah terbatas. Pekerjaan yang berat ini dilakukan dari hari ke hari, karena pada tempatnya bermukim kesulitan air.
Kini ketika telah terdapat teknologi "pipanisasi", distribusi air dari sumber air ke rumah-rumah tinggal tidak perlu lagi menggunakan talang air dan mewadahinya ke dalam klenting yang dibawa jauh dengan cara mengangsu. Pipa besi atau fiber glass menggantikan pipa dari pahatan batu andesit, pipa terakota ataupun talang (torong) bambu. Pipa itu dapat direntang jauh antara sumber air hingga area permukiman warga. Konon pula, guna memenuhi kebutuhan air di musim kemarau (ketiga), warga membuat tandon air hujan. Malahan, di kalangan warga sub-etnik Nadura -- baik yang tinggal di pulau Madura ataupun Pendalungan, air hujan itu sengaja ditampung dengan mengitari atap rumah dengan talang, dan air yang mengalir ke dalam talang lalu diisikan ke tandon air. Pembuatan tandon air (water reservoir) telah dilakukan semenjak amat lampau. Situs Segaran di Trowulan adalah tandon air amat besar di Wilwatikta (kadatwan Majapahit). Tandon air serupa, namun lebih kecil (28 X 54 m), didapati pula pada situs Semarum di Kapupaten Trenggalek. Dalam bentuk yang lebih modern, tandon air itu menjadi wujud waduk, yang dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan dinamai dengan "tamwak" atau "dawuhan". Demikianlah, antisipasi warga terhadap kelangkaan air di musim kemarau telah mentradisi pada masyarakat Jawa sejak masa Hindu-Buddha.
Jikalau pun air berasa jauh berasa di bawah muka tanah, dengan teknologi pompa maka air tanah bisa dinaikkan ke permukaan dan didistribusikan dengan pipa kepada para pengguna air. Bisa juga air yang diambil dari suatu sumber air dibawa dengan truk atau pick up bertangki untuk didistribusikan hingga jauh ke desa-desa yang tertimpa kelangkaan air. Itulah antara lain bentuk "ikhtiar praksis" untuk mengatasi kelangkaan air di musim kemarau.
Ada pula ikhtiar lainnya, yang berwujud "relegio-magis", seperti ritus minta hujan dengan permainan tiban (hujung, prisean, perang pandan, dsb.). Serupa itu, terdapat beragam ikhtiar minta hujan dengan ritus msgi-imitatif (simpatethic magic) seperti upacara mandi kucing, membasuh nekara raksasa di Pura Penataran Sasih, menandikan arca Bhima di punden Tambakwatu, dsb. Ritual Islam juga memiliki ikhtiar religis untuk memohon turun hujan, yang dinamai : Sholat Istiqo'.
Lestarikan Sumber, Hemat Gunakan Air
Tergambar bahwa terdapat beragam cara dan berbagai pendekatan yang memungkinkan untuk bisa dilaksanakan guna mendapatkan air di musim kemarau. Demi air yang langka di musim kemarau, orang rela bersusah payah atau keluarkan kocek untuk membeli air. Ketika tengah sulit air orang baru merasa betapa berharganya air. Namun sebaliknya, ketika air berkecukupan, orang abai terhadap air. Padahal, keberadaan air di musim penghujan akan berpengaruh terhadap keberadaan air di musim kemarau.
Oleh karena itu, "gerakan tabung air" ketika musim penghujan penting artinya untuk dapat "membetok (ngambil tunai)" tatkala berasa di musim kemarau. Salah satu upaya "menabung air" adalah dengan melestarikan sumber air. Tidak sedikit sumber air yang berkurang debit airnya atau bahkan kini mati lantaran vegetasi di sekitarnya ditebang. Untuk itulah dibutuhkan reboisasi di sekitar sumber air.
Berhemat menggunakan air adalah pola sikap dan tindakan bijak untuk menjaga kecukupan air bagi banyak orang. Acap terjadi, keluarga yang memiliki cukup bahkan berlebih air bisa tergelincir kepada boros penggunaan air, sementara ada pihak lain malah kesulitan air.
Gerakan hemat penggunaan air amat diperlukan. Bukan lantaran "air tak membeli" lantas boros, buang-buang air. Bagaimanapun, air ada batasnya. Terlebih lagi, waktu demi waktu ada sejumlah daerah yang terindikasi telah mengalami dekadensi dalam hal cadangan air bersihnya. []
Sumber : akurat.co
Pembuat : M. DWI CAHYONO
0 komentar:
Posting Komentar