Situs Blog Berita, Ya Blogger Berita Indonesia.

Minggu, 10 Februari 2019

Masihkah Sepak Bola Modern Membutuhkan Kapten Ikonik?

Sekitar satu dekade lalu, penulis The Wall Street Journal, Sam Walker ,memiliki ide untuk mencoba mengidentifikasi tim-tim hebat dengan cara yang paling objektif dalam sejarah olahraga guna menemukan apakah ada ciri-ciri umum dari masing-masing klub.
Dalam usahanya itu, Sam Walker menemukan bahwa semua klub-klub hebat memiliki satu karakteristik, yakni usia kesuksesan mereka sejalan dengan umur seorang yang mengenakan ban kapten, yang bisa mengangkat timnya untuk tampil di luar tingkat kemampuan alami mereka, seperti Ferenc Puskas dari Hungaria dan Carles Puyol dan Barcelona.
Singkatnya, Walker berteori bahwa satu hal yang dimiliki oleh tim-tim besar adalah pemimpin mereka yang harus seorang pemain hebat. Temuan Walker ini memberikan titik balik menarik untuk tren musim ini di Liga Primer Inggris yang tidak begitu mencolok, tetapi menarik.
Pada musim ini, peranan kapten di tim-tim liga inggris dianggap tidak kekal atau periferal. Gary Cahill jarang bermain untuk Chelsea, demikian juga kapten Everton Phil Jagielka, kapten Southampton Steven Davis (yang sekarang dipinjamkan ke Rangers).
Sementara itu, kapten Manchester United Antonio Valencia dan kapten Manchester City Vincent Kompany, telah absen lima atau enam pertandingan terakhir yang dijalani oleh klub mereka.
Tujuh klub (Arsenal, Everton, Fulham, Manchester City, Newcastle, Manchester United, dan Southampton) telah berganti ban kapten sebanyak empat atau lebih di musim ini. Semua ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kapten totem yang senantiasa ada merupakan spesies yang terancam punah? Dan, apakah itu penting?
Namun, melihat Manchester City dan Manchester United yang tengah bersaing di papan atas dan masih bertahan di babak gugur Liga Champions musim ini, maka teori Walker satu dekade silam itu bisa dibantah. Hal pertama adalah bahwa tampak tidak ada korelasi yang jelas antara konsistensi pemegang ban kapten dan kesuksesan sebuah tim.
Manchester City tidak benar-benar menderita dengan rotasi ban kapten. Ini hal pertama yang bisa membuat mental teori yang disampaikan oleh Walker itu. Kenyataannya adalah teori soal ban kapten sebagai sebagai sesuatu yang totem dan memiliki kedudukan penting sudah merupakan gaya lama atau sebuah keistimewaan di Inggris yang harus diletakkan.
Ketika para pundit televisi — yang umumnya adalah generasi yang telah pensiun dari sepakbola — merapati kurangnya sosok pemimpin dalam sepakbola modern, itu rasanya seperti mereka mengingatkan kembali pada tokoh cerita rakyat di Inggris yang monolitik, seperti Terry Butcher (yang berlumuran darah), Marvel Bryan Robson, atau John Terry, dan atau Tony Adams, yang berteriak-teriak sambil mengacungkan jari.
Namun, Nigel Winterburn yang bermain di bawah arahan kapten Tony Adams di Arsenal, mengatakan bahwa kehadiran seorang kapten veteran di barisan belakang bukanlah sesuatu yang dia atau rekan setimnya anggap sebagai faktor yang sangat penting dalam keberhasilan mereka. 
“Itu (kehadiran kapten veteran) tidak memberi kami sesuatu yang ekstra. Saya tidak benar-benar khawatir siapa pun kapten. Itu tidak menarik bagi saya,” kata Nigel sebagaimana dikutip dari The Straits Times.
Ketika Nigel pindah ke West Ham United pada musim 2000 sampai 2003, peran kapten baginya selaras dengan ketika ia masih di Highbury (The Home of Football milik Arsenal di periode 1913-2006), tapi secara pribadi Nigel tak melihat perbedaan itu.
Apakah lionisasi seorang kapten tunggal tidak sesuai dengan realitas sepakbola modern saat itu, obsesi sejarah di era analitik canggih dan rotasi pemain? 
Seperti Michael Cox dalam sebuah artikel di ESPN, tentang anggapan kurangnya pemimpin Arsenal di 2016 dan setiap generasi yang berpikir mereka memiliki pemimpin yang lebih baik. Pada awal tahun 1938, manajer The Gunnersjulukan Arsenalketika itu, Herbert Chapman meratapi dengan nada sedih sepakbola di eranya. “Sepakbola hari ini tidak memiliki kepribadian 20 atau 30 tahun lalu,” katanya.
Kurangnya kepemimpinan seringkali merupakan kritik yang diterapkan pada tim-tim yang berkinerja buruk, sementara tim-tim yang berhasil, meskipun tidak memiliki sosok pemimpin yang arketipal, selalu lolos dari cercaan.
Namun, sangat salah jika kita mengatakan bahwa ide kapten adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan sisi analitis sepakbola modern. Ada kemungkinan bahwa kultus kapten tampaknya telah menurun seiring dengan munculnya kultus pelatih.
Munculnya manajer-manajer yang teliti seperti Pep Guardiola dan Juergen Klopp, pelatih yang sebagian besar bergantung pada pergerakan dan gegenpressing dan latihan yang intensif, dengan sendirinya memastikan tim mereka tidak ragu pada apa yang harus dilakukan dalam jenis permainan apa pun.
Tampaknya ada perubahan ban kapten pada setiap jenis permainan. Di masa lalu, jabatan kapten biasanya merupakan pelestarian pemain yang vokal, kharismatik, dan defensif.
Di generasi sekarang, kapten-kapten baru mulai muncul. Musim ini, misalnya, Mesut Oezil dari Arsenal, David Silva dari Manchester City, Tom Cairney dari Fulham, telah mengenakan ban kapten pada pertandingan di liga. Mereka semua adalah pemain menyerang, sebagian besar dari mereka memiliki variasi individualitas, dan tidak ada yang tipikal bertahan dan bermain keras.
Winterburn yang di musim terakhirnya di West Ham dikomandoi oleh kapten Joe Cole, percaya bahwa mereka (gelandang dan penyerang kreatif) dapat menanggung pekerjaan sebagai kapten.
”Anda tidak selalu membutuhkan kapten vokal. Anda dapat memberi contoh sebagai pemain kreatif. Jika pemain-pemain seperti Eden Hazard atau David Silva dipilih sebagai kapten, bagi saya, itu pertanda bahwa mereka dapat menginspirasi tim. Seharusnya ada sebelas kapten di luar sana,” katanya.[]
Sumber: akurat.co
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Blog Archive