Situs Blog Berita, Ya Blogger Berita Indonesia.

Minggu, 27 September 2020

Hari Kereta Api Nasional Dari Aksi Buruh di Bandung

Sumber Foto: ayobandung.com

28 September 1945 menjadi salah satu hari yang cukup diingat masyarakat Indonesia sampai saat ini. Terjadi aksi pengambilalihan Kantor Pusat Kereta Api di Bandung dari penguasaan Jepang. Aksi di lapangan itu disikapi oleh para pejabat Republik Indonesia yang baru satu bulan usianya dengan mengumumkan pembentukan Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI). Hari yang penuh semangat nasionalisme itu kemudian diabadikan sebagai Hari Kereta Api Nasional.

Setelah proklamasi berkumandang di Pegangsaan Timur, Jakarta, pada 17 Agustus 1945, tidak serta-merta semua aset strategis yang dikuasai Jepang diserahkan atau bisa diambil alih. Pengelolaan kereta api, salah satunya. Pengambilalihan kantor-kantor kereta api dilakukan secara bertahap.

“Puncaknya adalah pengambil alihan Kantor Pusat Kereta Api Bandung tanggal 28 September 1945 (kini diperingati sebagai Hari Kereta Api Indonesia). Hal ini sekaligus menandai berdirinya Djawatan Kereta Api Indonesia Republik Indonesia (DKARI),” tulis PT Kereta Api Persero dalam situs webnya.

Dalam salah satu artikelnya, Kompas mengisahkan secara lebih rinci hari bersejarah itu. Organisasi-organisasi buruh kereta api ada di jantung aksi pengambilalihan kantor-kantor kereta api di beberapa kota di Indonesia.

Di Bandung, ribuan pegawai kereta api dan Angkata Muda Kereta Api (AMKA) yang ketika itu masih bekerja di bawah kendali Jepang mengambil alih kantor Balai Besar Kereta Api Bandung, yang sekarang menjadi Kantor Pusat PT KAI (Persero).

“Pada 28 September 1945, pernyataan sikap oleh sejumlah anggota AMKA yang mengatakan bahwa mulai 28 September kekuasaan perkeretaapian Indonesia resmi berada ditangan bangsa Indonesia. Semenjak saat itu, terbentuk Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) dan ditetapkannya sebagai Hari Kereta Api di Indonesia,” tulis Kompas.

Demi Kepentingan Kolonial

Merujuk situs web PT KAI (Persero), diceritakan pembangunan jalur kereta api pertama di Indonesia dikerjakan di Semarang pada 17 Juni 1864. Meski diresmikan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Baron Sloet van de Beele, proyek dilaksanakan oleh perusahaan swasta.

Jalur kereta api pertama yang dibangun pemerintah Hindia Belanda sendiri, melalui Staatssporwegen (Kereta Api Negara), baru dimulai pada 8 April 1875. Rutenya Surabaya-Pasuruan-Malang. Keberhasilan pembangunan dan pengoperasian kedua jalur ini mendorong investor berlomba-lomba masuk ke Hindia Belanda. Tidak hanya di Pulau Jawa, jalur kereta api juga dibangun di Sumatera dan Sulawesi.

Pada akhir 1928, tepat sebelum malaise menghantam perekonomian dunia, panjang jalur kereta api dan trem di Hindia Belanda mencapai 7.464 kilometer, terdiri dari 4.089 kilometer rel milik pemerintah dan 3.375 kilometer rel milik swasta.

Pada 1942, perkeretaapian di Hindia Belanda diambil alih oleh Jepang dengan bersalin nama menjadi Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api). Tidak banyak pembangunan jalur rel kereta api baru yang dikerjakan di masa penjajahan Jepang. Salah satunya, rel kereta api pengangkut hasil tambang batu bara di Sumatera. Jepang juga tercatat membongkar rel sepanjang 473 kilometer untuk diangkut ke Burma.

Perubahan Nama

Pascakemerdekaan, pengelola kereta api di Indonesia mengalami beberapa perubahan nama. Berikut rincian kronologi perubahan nama tersebut

1945-1950 Djawatan Kereta Api Indonesia (DKARI)

1950-1963                   Djawatan Kereta Api (DKA)

1963-1971                   Perusahaan Nasional Kereta Api (PNKA)

1971-1991                   Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)

1991-1998                   Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka)

1998 – sekarang          PT Kereta Api Indonesia (Persero)

Dari Patas Parahyangan ke Kereta Cepat Jakarta Bandung

Dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia pascakemerdekaan, ada beberapa tonggak penting yang melibatkan Bandung. Dua di antaranya adalah pengoperasian Kereta Api Patas Parahyangan sejak 1971 lalu serta proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang saat ini masih berlangsung. Keduanya digadang-gadang menandai era baru perkeretaapian di Indonesia, terutama terkait kecepatan perjalanan.

Ketika diresmikan pada 31 Juli 1971, KA Patas Parahyangan yang melayani rute Bandung-Jatinegara mengusung slogan “Bandung-Jakarta 2,5 Jam”. Sebelumnya, waktu tempuh rute tersebut sedikitnya tiga jam. Perjalanan via jalan darat lewat Puncak bisa 1-2 jam lebih lama. Parahyangan menjadi primadona sekaligus ikon.

Memasuki tahun 1990-an, waktu tempuh Parahyangan mulai molor hingga lebih dari tiga jam. Pada 1995, Perumka meluncurkan layanan eksekutif Argo Gede. Jarak tempuh ditarget 2 jam 50 menit.

Layanan kereta api yang menghubungkan Bandung dan Jakarta ini mendapat pukulan keras sejak Tol Cipularang beroperasi pada 2005. Setahun berselang, okupansi Parahyangan anjlok hingga 25 persen. Pengoperasian kereta ini mendatangkan kerugian. Pada April 2010, KA Patas Parahyangan berhenti melayani penumpang.

Layanan kereta api yang menghubungkan Bandung dan Jakarta memasuki babak baru ketika pemerintah menggulirkan rencana pembangunan kereta api cepat pada 2015. Presiden Joko Widodo meresmikan proyek dengan nilai investasi puluhan triliun Rupiah tersebut pada 21 Januari 2016 lalu. Pekerjaan dilakukan konsorsium perusahaan Indonesia dan China yang dinamai PT Kereta Api Cepat Indonesia-China (KCIC).

Megaproyek ini bukannya tanpa kritik. Yang paling sering disuarakan adalah dampak pembangunan, yang terkesan dipaksakan sehingga menabrak banyak prosedur, pada lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat bahkan membuat posko pengaduan khusus terkait dampak megaproyek tersebut. Kasus terbanyak adalah munculnya titik-titik baru banjir dan genangan.

Kehadiran kereta cepat Jakarta Bandung nanti juga menuntut Kota Bandung siap dengan layanan transportasi berbasis rel yang terintegrasi. Jaringan transportasi yang baik dibutuhkan agar waktu tempuh dari stasiun Tegalluar ke Kota Bandung tidak molor.

“Jangan sampai dari Jakarta ke stasiun Tegalluar 40 menit, tapi dari stasiun ke kotanya bisa berjam-jam karena masih saja macet. Ya sama saja nanti,” kata peneliti transportasi Institut Teknologi Bandung Sony Sulaksono Wibowo. 

Sumber :ayobandung.com

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Blog Archive