Hal inilah menurut wartawan yang menulis dalam Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (edisi 31 Mei 1933) yang menjadi alasan utama diselenggarakannya penyelidikan di sana. Sampai-sampai anggota Dewan Rakyat (Volksraad) Oto Iskandar di Nata menyampaikan pendapatnya di hadapan para anggota lainnya pada 30 Mei 1933. Setelah membaca tulisan J.J. Mys dalam AID de Preanger Bode ihwal perlawanan masyarakat Garut terhadap “suntik mayat”, Oto paling tidak mengajukan dua pertanyaan.
Pertama, apakah pemerintah kolonial tidak berpikir bahwa aturan pemeriksaan kematian seharusnya dikembangkan sesegera mungkin sebagaimana yang disarankan J.J. Mys. Kedua, apakah sudah disiapkan untuk menyelidiki atau menjawab pertanyaan mengapa masyarakat Garut demikian bergebu-gebu melakukan perlawanan terhadap “suntik mayat”, padahal di tempat lainnya yang sama-sama terjangkit sampar, perlawanannya tidak begitu kuat.
Dalam suasana inilah, Dokter Ahmad Ramali dipindahkan dari Padang Sidempuan, Sumatra Utara, ke Batavia. Menurut Supriati (DR. Ahmad Ramali: Hasil Karya dan Pengabdiannya, 1981, dalam “Islam dan Persoalan Higiene di Hindia Belanda” karya Gani A. Jaelani, 2017), Ahmad Ramali yang lahir di Bonjol pada 20 November 1903 ini lulusan Openbare Lagere Europesche School di Bukittinggi dan STOVIA (1928). Setelah lulus, dia menjadi dokter di rumah sakit pemerintah di beberapa daerah, yaitu Pematang Siantar, Padang Sidempuan, Jakarta, Semarang, dan Tuban. Saat bertugas di Padang Sidempuan, dia kerap memberi ceramah dalam bidang kesehatan, terutama untuk menangkal malaria, di sebuah perkumpulan anak-anak sekolah bernama Gezondheid Briegade. Konon, tindakannya dianggap mengurangi kewibawaan pemerintah Belanda, dan karenanya kemudian ia dipindahtugaskan ke Batavia.
Namun, sebaliknya dengan yang saya baca dari koran Belanda di atas, kepindahan Dokter Ramali justru disebabkan oleh mutunya yang tinggi dalam bidang keilmuan Islam untuk menangani sampar di Jawa, terutama untuk membantu memecahkan kasus-kasus yang terjadi di Garut. Sebelum kepergiannya ke Batavia, ia telah melakukan surat-menyurat dengan Snouck Hurgronje, Hussein Djajadiningrat, serta guru-guru agama di Pulau Jawa.
Perintah resmi kepindahannya ke Batavia terjadi pada awal Juni 1933. Ia diminta untuk bekerja dalam penanganan kasus sampar di Garut karena melibatkan perlawanan dari masyarakat yang menggunakan isu agama. Dalam Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (edisi 8 Juni 1933) disebutkan bahwa baru-baru ini Dokter Ramali bekerja di Tapanuli untuk meyakinkan penduduk dengan menggunakan dalil agama mengenai pentingnya mengeringkan kolam-kolam ikan karena menjadi sarang bagi jentik-jentik nyamuk penyebar malaria. Ia menggunakan hadis dan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menegaskan pentingnya menjaga kesehatan.
Untuk tugas barunya dalam penanganan sampar di Garut, Dokter Ramali menulis sebuah brosur dalam bahasa Melayu berjudul Tangkal Pest: Jaitoe Persatoean Ilmoe dan Agama Menolak Bahaja Pest dan langsung diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi Noelak Pest: Ngahidjikeun Pangaweroeh djeung Agama pikeun Noelak Kasakit Pest. Kalau melihat pemberitaan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (edisi 21 Desember 1933), keduanya diterbitkan paling tidak diterbitkan pada Desember 1933. Jadi, lima bulan atau lebih setelah dia diperintahkan untuk pindah ke Batavia dan bekerja membantu menangani wabah sampar di Garut.
Memang menurut Jaelani (2017) Dokter Ramali memiliki ketertarikan untuk melihat hubungan antara Islam dengan ilmu kedokteran akibat kedekatannya dengan tokoh Sarikat Islam (SI) H. Agus Salim. Bahkan sebelum menulis Tangkal Pest, Dokter Ramali menulis artikel berjudul “Bijdrage tot de Medisch-Hygiënische Propaganda in eenige Islamitische streek” tentang kesesuaian antara prinsip-prinsip Islam dengan hidup higienis. Tulisan yang dimuat dalam GTvNI ini kemudian dijadikan bahan disertasinya di Universitas Gadjah Mada: Peraturan-peraturan untuk memelihara kesehatan dalam hukum Syara’ Islam (1950).
Bukti kedekatan Dokter Ramali dengan H. Agus Salim terlihat dari pengantar Tangkal Pest yang ditulis oleh tokoh SI itu. Di dalam pengantarnya antara lain H. Agus Salim menulis demikian: “… Saja merasa senang, karena karangan toean itoe memboektikan, bahwa djalan kebenaran dan keoetamaan haroes ditjari pada djalan persatoean ‘ilmoe dan agama, dengan ‘ilmoe sebagai alat perkakas dan agama sebagai pedoman penoentoen”.
Perihal penolakan “suntik mayat” yang dianggap “merendahkan deradjat majat” dan “menghina kepada majat”, menurut penilaian H. Agus Salim, Dokter Ramali berhasil memadukan silang pendapat dalam hal ini, “Maka amat berkenan hati saja melihat toean menjatakan pendapatan jang tentoe dengan tidak koerang anggapan kepada paham jang berlainan. Sehingga dapatlah toean memberi djalan perdamaian bagi kedoea belah pihak tentang soentikan majat itoe” (Ramali, 1933, dalam Jaelani, 2017).
Menurut Jaelani (2017), ada dua bentuk penolakan terhadap “suntik mayat”, yakni penolakan yang sifatnya teknis dan substantial. Terkait yang pertama, umumnya menyangkut perlakuan terhadap mayat, seperti pemeriksaan mayat perempuan oleh dokter laki-laki atau perlakukan semena-mena seorang dokter ketika memeriksa mayat. Menurut Dokter Ramali, rakyat berhak protes jika ada perlakukan yang tidak sesuai, tapi: “Tidaklah hal itoe mengobah kenjataan, bahwa pengawasan kematian itoe adalah satoe atoeran jang perloe oentoek mendjaga keselamatan negeri dan pendoedoek”, dan “keberatan-keberatan itoe tidak haroes didjadikan sebab akan mengetjiwakan pekerdjaan pengawasan kematian itoe. Sebab dengan ‘menjeloedoepi’ pengawasan itoe dan menjemboenjikan majat atau mengoeboerkan majat sebeloem pemeriksaan, boekan pegawai-pegawai jang salah itoe jang kena bentjana, melainkan negeri dan kaoem pendoedoek sendiri djoega jang ditimpa oléh bahaja” (Ramali, 1933, dalam Jaelani, 2017).
Kemudian untuk penolakan yang bersifat substantial berupa menusukkan jarum suntik ke limpa mayat merupakan laku merusak mayat yang jelas dilarang oleh agama, Dokter Ramali menyatakan “Soentikan itoe […] tidak oentoek memasoekkan barang satoe apa kedalam badan majat itoe, melainkan oentoek mengeloearkan air daripada limpanja oentoek diperiksa” (Ramali, 1933, dalam Jaelani, 2017) dan berupa pandangan “suntik mayat” dianggap aniaya, ia menganalogikannya dengan diperbolehkannya mengeluarkan bayi yang masih hidup di lama perut soerang ibu yang meninggal dengan cara membedah perutnya.
Sayang sekali, terobosan yang dilakukan oleh Dokter Ramali dalam penanganan sampar di Priangan, khususnya Garut, seakan-akan tidak dihargai. Karena belum setahun di Batavia, pada awal Maret 1934, dia sudah dipindahkan lagi ke Bima, Nusa Tenggara Barat, dengan alasan tidak jelas, karena di daerah itu tidak ada wabah sampar. Hal ini tentu mengejutkan banyak orang (De Indische Courant, 12 Maret 1934). Apakah memang hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa Dokter Ramali mengurangi kewibawaan pemerintah Belanda? Kemudian karena membawa-bawa masalah agama Islam ke dalam penangan sampar? Atau karena kedekatannya dengan tokoh SI?
Sumber: ayobandung.com
0 komentar:
Posting Komentar