Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengungkapkan bahwa selama tujuh dekade atau 70 tahun pembangunan nasional belum mampu menghilangkan ketimpangan sosial, khususnya timpangan ekonomi.
Menurut Said Aqil, ketimpangan ekonomi yang terjadi saat ini masih seperti zaman kolonial yang menciptakan kelas status sosial berdasarkan penguasaan atas ekonomi.
"Penyakit ini diwariskan turun temurun setelah Indonesia merdeka. Ini terlihat dan langgengnya oligarki yaitu penguasaan atas aset ekonomi oleh segelintir orang. Presiden dan pemerintahan silih berganti, tetapi oligarki tidak pernah pergi. Oligarki punya kemampuan adaptif untuk berkolaborasi dengan Siapa pun yang berkuasa," kata Said Aqil saat konferensi pers di Kantor PBNU, Jakarta, Kamis (2/1/2019).
Ia menuturkan, bercokolnya oligarki membuat ekonomi tumbuh, tetapi tidak merata. Ia menyebutkan, secara nominal, kekayaan 50 ribu orang terkaya setara dengan gabungan kepemilikan 6O persen aset penduduk Indonesia atau 150 juta orang.
"Segelintir orang mendominasi kepemilikan atas jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan dan obligasi pemerintah, serta penguasaan tanah," jelasnya.
Sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, yakni pertanian, terseok-seok karena gagalnya industrialisasi penanian. Sawah-sawah, ujar dia, menjadi tadah hujan karena miskinnya infrastruktur irigasi. Akibatnya, lanjut Said Aqil, produktifitas turun.
"Sawah-sawah akhirnya disulap jadi rumah-rumah. Pada gilirannya kebutuhan pangan diperoleh dari impor yang menguras devisa," ujar dia.
Oleh karena itu, kata dia, Nahdlatul Ulama mengingatkan kepada Pemerintah untuk memotong mata rantai oligarki dan penguasaan kekayaan alam Indonesia oleh segelintir orang.
"Oligarki akan menimbulkan penyakit sosial berupa persepsi tentang ketidakadilan dan prasangka etnis yang dapat mengoyak integrasi nasional," pungkasnya.
Tag: PBNU, Keadilan Sosial, Oligarki
Sumber: akurat.co
0 komentar:
Posting Komentar