Situs Blog Berita, Ya Blogger Berita Indonesia.

Kamis, 02 April 2020

Riset COVID-19 Terbaru: Peneliti AS Klaim 2 Meter Tak Cukup untuk Physical Distancing



Seorang ilmuwan asal Amerika Serikat, Lydia Bourouiba mengeluarkan statement terbaru terkait dengan Physical Distancing atau Jarak Fisik untuk menekan penyebaran Virus Corona.

Pasalnya, alih-alih mengamini jarak sekitar 6 kaki (1,8 meter) untuk Physical Distancing, Bourouiba justru menyebutkan ukuran yang jauh lebih besar jika masyarakat tidak ingin terjangkit virus COVID-19.

Dalam liputannya, USA Today pada Selasa (31/3) lantas melaporkan bagaimana profesor Institut Teknologi Massachusetts (MIT) ini menyebutkan bahwa droplet yang dibawa oleh 'awan gas' dari sebenarnya justru bisa meloncat hingga 27 kaki (8,2 meter) jauhnya.

Meskipun mengejutkan, tetapi hasil riset Bourouiba ini disebutkan telah melalui proses penelitian selama bertahun-tahun di Laboratorium Transmisi Penyakit Dinamika Fluida. Setelah bertahun-tahun meneliti itulah, Bourouiba akhirnya menemukan fakta bagaimana pernapasan yang menyebabkan awan gas ternyata bisa terbang hingga 27 kaki.

Dalam sebuah artikel Jurnal Asosiasi Medis Amerika yang diterbitkan minggu lalu, Bourouiba bahkan mengklaim bahwa puncak kecepatan pernafasan manusia bisa mencapai 33-100 kaki (10-30,4 meter) per detiknya. Karena tingginya angka kecepatan ini, Bourouiba menyebutkan bagaimana masker bedah atau N95 yang saat ini umum digunakan belum teruji untuk karakteristik potensial dari emisi pernafasan ini.

Hasil penelitian Bourouiba ini jelas berimplikasi pada pandemi COVID-19 lantaran selama ini, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) hingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meminta jarak aman sekitar 3-6 kaki (0,9-1,8 meter).

Karena inilah, Bourouiba mencoba menyerukan kepada pihak terkait untuk segera mengambil langkah yang lebih tepat dan baik untuk melindungi petugas kesehatan serta penderita COVID-19 yang memiliki gejala batuk atau bersin.

"Ada urgensi dalam merevisi pedoman yang saat ini diberikan oleh WHO dan CDC tentang perlunya peralatan pelindung, terutama untuk pekerja layanan kesehatan garis depan," ucap Bourouiba.

Lebih lanjut, Bourouiba juga menampik secara tegas gagasan bahwa droplet akan menabrak dinding virtual dan langsung bisa berhenti sehingga itu cukup membuat manusia aman. Menurut Bourouiba, teori tersebut jelas tidak ditemukan dalam penelitiannya serta tidak didasarkan pada bukti terkait tentang transmisi COVID-19.

Bourouiba kemudian berpendapat bahwa awan gas yang bisa membawa droplet dengan semua ukuran akan dilontarkan ketika seseorang batuk, bersin, atau menghembuskan napas. Profesor MIT ini lantas menambahkan bagaimana awan ini hanya bisa sedikit diredakan dengan bersin atau batuk di siku.

"Dalam kaitannya dengan fluida, bagaimana pernapasan dipancarkan, poin pentingnya adalah bahwa ada awan gas yang membawa droplet dengan segala jenis ukurannya, bukan tentang 'besar' versus 'kecil' atau 'tetesan' versus 'aerosol'," tambah Bourouiba.

Namun, seorang profesor penyakit menular dari Fakultas Kedokteran Universitas Washington, Paul Pottinger tampaknya tidak terlalu puas dengan hasil penelitian Bourouiba. Pasalnya, Pottinger justru tidak terlalu mementingkan seberapa jauh kuman atau virus bisa bepergian, tetapi seberapa jauh mereka akhirnya tidak bisa lagi menjadi ancaman.

"Bagi saya, pertanyaannya bukanlah seberapa jauh kuman dapat melakukan perjalanan, tetapi seberapa jauh mereka dapat bepergian sebelum (akhirnya) mereka tidak lagi menjadi ancaman.

Semakin kecil partikel kuman, semakin rendah risiko bahwa mereka dapat menginfeksi seseorang yang akan menghirupnya atau membuat mereka tersangkut di hidung atau mulut mereka," ucap Pottinger.

Dalam keterangannya, Pottinger lantas menambahkan bagaimana ancaman terbesar manusia saat ini adalah droplet yang lebih besar. Pottinger pun berujar bahwa droplet dengan ukuran besar inilah yang diklaim membawa Virus Corona.

"Kami pikir ancaman terbesar dengan coronavirus sebenarnya adalah droplet yang lebih besar. Droplet dari air liur, ingus, ludah. Droplet yang hampir terlihat seperti hujan, seperti ketika seseorang bersin.

"Droplet itu cukup besar sehingga gravitasi masih bekerja pada mereka. Biasanya, (droplet) itu akan meninggalkan tubuh seseorang dengan jarak sekitar 6 kaki (1,8 meter). Droplet yang lebih besar dan lebih infeksius akan jatuh ke tanah. Di situlah aturan enam kaki berasal," lanjut Pottinger.

Seakan menyanggah pendapat Bourouiba, Pottinger lantas menjelaskan bahwa jika Virus Corona masih efektif pada jarak hingga 27 kaki, pastilah akan lebih banyak orang yang sudah menderita COVID-19.

"Dibutuhkan sejumlah partikel virus, kami menyebutnya 'virion,' atau virus individu, dibutuhkan sejumlah virus individu untuk benar-benar mendapatkan pijakan di dalam tubuh dan menyebabkan infeksi itu berlanjut."

"Sekarang, kami tidak tahu persis berapa jumlah angka itu (virus), tetapi mungkin lebih dari satu virus. Tetapi jika Anda memikirkannya, jika ini (virus) benar-benar bisa berjalan sangat efisien melalui udara, kita tidak akan membahas topik ini.

Jika radius 27 kaki memang berisiko tinggi bagi seseorang, ini akan menjadi percakapan yang sama sekali berbeda. (Namun) Ini bukan," tambah Pottinger.


Sumber: Akurat.co

Share:

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com