Dahsyatnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melanda Kalimantan dan Sumatera tidak hanya diberbincangkan oleh media-media Indonesia saja, tetapi juga berbagai media asing. Selain itu, media internasional juga turut meliput masalah asap serta konflik yang timbul dengan Malaysia atau Singapura.
Media ternama Amerika Serikat, The New York Times (NYTimes), dalam artikelnya berjudul 'As Amazon Smolders, Indonesia Fires Choke the Other Side of the World' (Ketika (Hutan) Amazon Membara, Kebakaran (Hutan) Indonesia Mencekik Bagian Lain Dunia), jurnalis NYTimes menuliskan bahwa ribuan titik kebakaran yang menerjang Indonesia sebagian besar disebabkan oleh pembukaan lahan untuk pertanian kelapa sawit.
Dalam beritanya, NYTimes juga menyebutkan bahwa kebakaran hutan Kalimantan dan Sumatera tidak hanya menyebabkan ribuan orang sakit, tetapi juga mengklaim bahwa terbatasnya perlengkapan pemadam kebakaran membuat api tidak bisa dikendalikan.
"Ratusan (titik) kebakaran hutan melanda wilayah sepanjang Kalimantan dan Sumatra di Indonesia pada hari Selasa (17/9), menghasilkan asap tebal yang mengganggu transportasi udara, memaksa sekolah-sekolah tutup dan membuat ribuan orang sakit. Minimnya perlengkapan yang memadai untuk para petugas pemadam kebakaran membuat api tidak bisa terkendali," tulis dua jurnalis NYTimes, By Richard C. Paddock dan Muktita Suhartono.
NYTimes juga menuliskan bahwa kebakaran di Indonesia dan Amazon nyatanya turut berkontribusi terhadap perubahan iklim dengan melepaskankan karbon dioksida ke atmosfer.

Sementara itu, media populer Australia, ABC, justru lebih banyak mengulas kritikan serta keluhan yang datang dari beberapa negara tetangga Indonesia akibat kabut asap lintas batas dari kebakaran hutan di pulau Sumatra dan Kalimantan.
"Ketika kabut asap beracun menyelimuti Singapura dan Kuala Lumpur, Pemerintah Malaysia secara terbuka mengkritik Indonesia karena gagal mencegah kebakaran. Tetapi badan meteorologi Indonesia memperingatkan bahwa musim kering akan berlanjut hingga Oktober, (sehingga) beberapa pihak menjadi khawatir bencana (kebakaran) ini bisa menjadi lebih buruk," tulis ABC dalam artikelnya yang berjudul 'Indonesia Battles Forest Fires, Criticism from Neighbours over Toxic Haze' (Indonesia Memerangi Kebakaran Hutan, Kritikan dari (Negara) Tetangga Karena Kabut Beracun).
Senada dengan ABC, media berbahasa Inggris asal Jepang, 'JapanTimes', juga ikut menyoroti bagaimana kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan kondisi udara di Singapura mencapai level paling buruk selama tiga tahun terakhir.
"Badan Lingkungan Nasional menunjukkan kualitas udara Singapura memburuk ke tingkat "tidak sehat" pada hari Sabtu (14/9) untuk pertama kalinya dalam tiga tahun (terakhir), (hal ini) pun mengancam perselisihan regional terkait dengan kebakaran hutan (di Indonesia)," tulis JapanTimes dalam artikelnya berjudul 'Indonesian Forest Fires Push Singapore's Smog to the Worst in Three Years' (Kebakaran hutan Indonesia Memicu Udara Singapura ke (Level) Terburuk dalam Tiga Tahun).

Berbeda dari ketiga media internasional sebelumnya, salah satu media Timur Tengah yang berbasis di Qatar, Al-Jazeera justru lebih memandang dampak asap kebakaran hutan Indonesia dari segi ekonomi. Dalam artikelnya yang bertajuk 'By the Numbers: Economic Impact of Southeast Asia's Haze' (Dilihat dengan Angka: Dampak Ekonomi (Atas) Kabut Asia Tenggara), jurnalis Al-Jazeera menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dari tiga negara, yaitu Indonesia, Singapura, dan Malaysia mungkin akan lebih banyak daripada peristiwa kebakaran hutan parah yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1997 atau 2015.
"Persentase dari produk domestik bruto (PDB) dari Indonesia menunjukkan bahwa peristiwa kabut asap tahun 2015 menelan biaya 1,9 persen, sedangkan Singapura adalah 0,17 persen. Untuk Malaysia, data tentang biaya ekonomi kabut tahun 2015 tidak tersedia, tetapi angka untuk tahun 1997 menunjukkan angka 0,3 persen," tulis Al-Jazeera.
Mengejutkannya, Al-Jazeera memberitakan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi kabut asap di Indonesia mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan biaya pemulihan bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004 silam.
"Menurut perkiraan Bank Dunia, di Indonesia, di mana kebakaran hutan adalah penyebab utama asap yang memenuhi langit dan paru-paru penduduk telah menelan biaya sebesar Rp221 triliun ($ 16,1 miliar) pada tahun 2015. Ini lebih dari dua kali lipat biaya rekonstruksi setelah tsunami Aceh (2004)," tulis Al-Jazeera. []
Tag: Media Asing, Karhutla, Kebakaran Kalimantan, Malaysia, Singapura
Sumber: akurat.co
0 komentar:
Posting Komentar