![]() |
Thakolrat ‘Jin’ Prongsuwan | CNA
|
Ibu Jin bermimpi memiliki sebuah kafe sebelum dia meninggal karena kanker dua tahun lalu. Jika dia hidup, dia akan berseri-seri dengan bangga mengetahui bahwa putranya yang berusia 28 tahun, yang menderita down syndrome, sedang mewujudkan mimpinya, dengan cinta dan ketelitian.
Thakolrat ‘Jin’ Prongsuwan, seorang penderita down syndrome asal Thailand mendadak terkenal di media sosial lantaran berhasil membuktikan kepada dunia bahwa down syndrome bukanlah sebuah halangan untuk menjadi seorang barista. Berkat popularitas yang terus meningkat, kini kafe tempat Jin bekerja ramai diserbu oleh para pembeli yang ingin mencicipi kopi racikannya.
Di dalam kafe, Jin tampak sibuk bekerja dengan mesin kopi, sementara pelanggan terus berdatangan untuk mencicipi minuman racikannya. Meskipun banyak pelanggan yang ramai mengamatinya, pria 28 tahun ini seakan tidak terpengaruh dan tetap fokus menjalankan tugasnya. Dengan hati-hati dan penuh ketelitian, Jin pun tampak lihai membuat berbagai macam hidangan khas kopi persis seperti latihan yang ia sudah jalani selama bertahun-tahun.
Layaknya seorang barista profesional, Jin pun dengan cekatan menggiling kopi hingga membuat foamed milk (buih susu) dan menuangkannya ke dalam cangkir. Berbagai jenis hidangan kopi mulai dari espreso, cappuccino, latte, hingga es moka setidaknya sudah dibuat Jin dengan sempurna. Tampak pula, bagaimana setiap kali melayani pelanggan, Jin selalu melihat dengan seksama ke gelas takar agar racikan yang ia buat pas dan sesuai dengan resep.

"Satu. Dua. Tiga. Empat," ucap Jin saat menghitung jumlah sendok gula yang harus ia tambahkan ke gelas ukur.
Tidak terasa sudah sekitar 1,5 tahun Jin bekerja di Panya Cafe. Jin masih ingat betul bagaimana sebelum meninggal karena kanker, ibunya mempunyai mimpi untuk memiliki sebuah kafe. Meskipun, Jin belum bisa mewujudkan cita-cita ibunya tersebut, tetapi semua orang percaya bahwa ibunya akan merasa sangat bangga melihat anaknya saat ini.
Ibu Jin pasti juga akan merasa senang bagaimana anaknya tersebut bekerja keras menyeduh kopi serta melayani pelanggannya dari hari Senin hingga Jumat.
"Saya membuat kopi hingga pukul 4.30 sore. Saya suka minum cappuccino dan espreso dengan es," ucap Jin semangat.
Meskipun begitu, Jin rupanya bukanlah satu-satunya penyandang disabilitas yang bekerja di kafe yang terletak di Petchburi Road, Bangkok, tersebut. Setidaknya, sejak kafe ini dibuka pada Mei tahun lalu, Jin bekerja bersama seorang rekannya yang merupakan penderita autis.
Sementara Panya Cafe tempat Jin dan rekannya bekerja diketahui digerakkan oleh sebuah yayasan nirlaba terkemuka Thailand, Foundation for the Welfare of the Mentally Retarded of Thailand (Yayasan nirlaba untuk Kesejahteraan Tahanan Mental Thailand). Tidak hanya Jin, yayasan ini setidaknya telah menaungi sekitar 500 penyandang cacat intelektual dan melatih mereka agar bisa memperoleh kehidupan normal di dalam masyarakat.
Jin tercatat mulai bergabung dengan yayasan ini ketika ia berusia tujuh tahun. Meskipun saat itu, Jin tidak bisa berbicara sepatah kata pun, tetapi dengan pelatihan selama bertahun-tahun, ia akhirnya bisa bekerja di Panya Cafe hingga mampu menghafalkan sekitar 10 jenis menu minuman.
Tidak hanya itu, Jin termasuk beruntung telah mendapatkan pekerjaan sebagai barista dan setidaknya bisa memperoleh gaji sekitar USD 300 (Rp4,1 juta) per bulannya. Pasalnya, berdasarkan keterangan dari ketua yayasan, Cherd Theerakiatikun, 90 persen penyandang cacat intelektual masih berstatus pengangguran.
Padahal, data dari Departemen Kesehatan Mental Thailand menunjukkan jumlah orang hidup dengan cacat intelektual mencapai angka sekitar 650 ribu orang, dan hanya 10 persen yang memiliki akses ke pusat perawatan atau rehabilitasi yang tepat. Bahkan, pada tahun 2018, laporan mencatat sebanyak 75 persen anak-anak cacat intelektual berusia 5 hingga 15 tahun tidak menerima pendidikan formal.
“Selain masalah neurologis, hanya ada 30 sekolah atau lebih di seluruh negeri yang melayani siswa dengan kebutuhan khusus. Tenaga kependidikan juga kurang," ucap Cherd.
Tidak hanya itu, nasib penyandang cacat intelektual seperti Jin makin diperburuk lantaran masih banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak-anak mereka menderita gangguan perkembangan.
"Beberapa anak terlihat normal tetapi mereka tidak bisa belajar dan gurunya tidak peduli. Jadi setelah meninggalkan sekolah, mereka tidak mempunyai tempat atau tujuan untuk pergi, dan mereka hanya bisa berdiam diri di rumah. Tanpa pekerjaan, mereka (hanya akan dianggap) menjadi beban bagi keluarga mereka," tambah Cherd seperti dilansir oleh CNA pada Senin (4/11).
Tag: Down Syndrome, Thailand, Barista
Sumber: akurat.co
0 komentar:
Posting Komentar