Peserta English Cafe sedang berdiskusi di sudut Waroeng Steak Sederhana Gang Cempaka Sari, Sekaran, Gunungpati, Kota Semarang, Kamis (21/11). | Istimewa
|
Ihsan Fuady (20) tampak asyik berbincang dengan teman-temannya di Waroeng Steak Sederhana Gang Cempaka Sari, Sekaran, Gunungpati, Kota Semarang, Kamis (21/11). Perbincangan malam itu tak seperti ngobrol biasa. Sebab Ihsan dan temannya berdiskusi menggunakan Bahasa Inggris. Ada seorang mentor yang turut mendampingi.
Taruna semester 5 Jurusan Nautika Politeknik Bumi Akpelni Semarang itu tengah mengikuti program kursus Bahasa Inggris yang dikelola English Cafe Semarang di Waroeng Steak. Malam itu ia sedang mendiskusikan materi preposisi dan kombinasi.
"Saya ingin asah skill Bahasa Inggris. Ini tuntutan bagai saya nanti ketika bekerja. Saya ingin bekerja di kapal tanker," kata pria asal Pati, Jawa tengah itu.
Ihsan telah bergabung di English Cafe sejak akhir Agustus 2019 lalu. Ia mengetahui ada kursus di kafe melalui promosi instagram.
"Dari teman saya yang lihat Instagram. Lalu saya diajak bertemu manajer untuk tanya syarat-syarat. Saya ikut tiap malam. Kecuali kalau pas pulang kampung," katanya.
Menurut Ihsan, belajar Bahasa Inggris di kafe merupakan sesuatu yang baru. Menurutnya, selain suasana lebih santai, mentor yang mendampingi juga masih seusia. "Jadi kami lebih akrab. Mentornya ngajak daily talk jadi saya jadi terbiasa," katanya.
Selain Ihsan, setidaknya ada 42 pelajar yang bergabung di English Cafe tersebut. "Awal pertama kali yang gabung ada satu orang. Sekarang ada 42 orang," kata Aufa Asfahani yang juga owner sekaligus manajer English Cafe.
Bisnis kafe telah menjamur di mana-mana. Termasuk di Kota Semarang. Anak-anak muda juga gemar nongkrong di kafe, dari sekadar ngobrol hingga mengerjakan tugas bersama. Aufa menangkap fenomena itu sebagai peluang untuk mengembangkan English Cafe di sekitar kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes). Ia memilih Wareong Steak Sederhana karena tempatnya nyaman dan mudah diakses.
"English Cafe merupakan kursus Bahasa Inggris yang dilaksanakan di kafe. Di kafe, biasanya anak muda nongkrong biasa. Nah, bagaimana kalau dibuat yang lebih berisi dengan pembelajaran Bahasa Inggris di kafe," katanya.
Mahasiswa Program Studi Pengembangan Kurikulum Pascasarjana Unnes itu berpendapat, pembelajaran Bahasa Inggris di kafe lebih efektif. Selain sudah terbiasa nongkrong, suasana di kafe lebih santai untuk berdiskusi.
"English Cafe ini baru aktif awal tahun 2019. Saya promosi melalui Instagram," katanya.
Aufa menjelaskan, ada sejumlah modul yang disiapkan untuk pembelajaran bahasa Inggris. Mulai dari level 1 hingga level 4. "Satu modul selesai selama 3 bulanan," katanya.
Ia menjelaskan, modul level 1 fokus pada olah speaking. Pada level tersebut peserta didorong untuk berani bicara tanpa khawatir salah dalam grammar.
"Grammarnya diabaikan dulu. Yang penting berani ngomong. Level dua masuk basic grammar. Baru dimasukkan sedikit-sedikit," katanya.
Sementara itu, pembelajaran dalam level 3 berisi materi grammar tingkat lanjut. Sedangkan level 4 lebih mengarah ke public speaking.
"Saya pernah nanya via chat whatsapp. Intinya peserta merasa enjoy dan nyaman. Materi juga mudah dimengerti," katanya.
Aufa mengatakan, di English Cafe, peserta didampingi oleh seorang mentor. Ia menyebut untuk saat ini ada 3 orang mentor. "Chef panggilan untuk pengajar. Kafe kan identik dengan masakan atau makanan. Jadi kami panggil chef," katanya.
Chef yang dipilih, lanjut Aufa, adalah anak-anak muda yang berkompeten. Ia juga mematok usia maksimal 28 tahun bagi yang ingin bergabubg. "English Cafe identik dengan ngajar di kafe. Biar santai, pengajarnya juga anak-anak muda," katanya.
Aufa mengungkapkan, English Cafe yang ia kelola merupakan bagian dari jaringan English Cafe di sejumlah daerah. Saat masih kuliah di Yogyakarta pada 2016 ia juga anggota English Cafe di sana. Saat itu ia mengambil kelas TOEFL privat setiap hari.
"Pada akhir 2016 aku ditawari sama pengelola pusat di Yogyakarta. Silakan buka kalau mau. Rencana buka di Rembang, tapi sepertinya kurang potensial," katanya.
Untuk jadi anggota English Cafe, lanjutnya, cukup datang ke lokasi untuk registrasi. Biaya kursus untuk 3 bulan Rp600 ribu per 1 level. "Masuk 30 meeting. Ada teori dan daily talk," katanya.
Yuka Indra Prasetya (20), chef English Cafe mengatakan belajar di kafe jadi lebih santai. Ia mengamati siswa yang bergabung tidak tegang.
"Di sini kami ibaratnya nongkrong dapat ilmu. Jadi lebih rileks," kata mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Semester 5 Unnes itu.
Indra yang bergabung sejak Agustus itu memang suka nongkrong di kafe sebelumnya. Kini setelah ia jadi chef, jadwal nongkrongnya bertambah.
Sebelum ia ke kafe biasanya mempersiapkan materi apa saja yang akan dipalajari. Ia juga harus tahu apa yang akan dibicarakan.
"Daily talk mereka bisa mengusulkan untuk bicarakan apa. Misalnya mengulik hobi. Kemarin ada pertandingan sepakbola Indonesia, bisa kami diskusikan," katanya.
Sumber: akurat.co
0 komentar:
Posting Komentar